Posted by : Reza Arrizal F Kamis, Maret 21, 2013

Adakalanya batin kita berbisik, “Percuma saja berupaya jika segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah.” Di lain waktu, suara batin kita mungkin berkata, “Untuk apa lagi berusaha bila semuanya telah ditakdirkan, sia-sia.”
Bisikan batin seperti ini bila hinggap di batin manusia yang pendek nalarnya, mungkin kita tak terlalu heran. Tapi jika itu terjadi pada manusia beriman maka sungguh ini keanehan yang sebenarnya. Sebab, setiap mukmin seharusnya mengimani qadha. Qadha adalah salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh seluruh kaum Muslim tanpa terkecuali. Ia tidak dapat dipisahkan dari lima rukun yang lain.

KESALAHAN FATAL
Ketiadaan iman kepada rukun yang satu ini dampaknya tidak ringan, baik dalam keabsahan iman maupun realitas kehidupan. Kesalahan dalam menyikapi rukun iman yang satu ini, konsekuensinya sangat fatal. Bukan sekedar kesengsaraan hidup di dunia saja, tapi juga penderitaan di akhirat.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk kesalahan fatal tersebut:
1.      Mengingkari takdir, mengedepankan pikir
Sikap ini sangat berbahaya dan mempunyai beberapa akibat fatal. Akibat pertama, membatalkan semua keimanan yang lain. Walaupun iman kepada takdir hanya satu unsur dari enam rukun iman, tetapi kesemuanya adalah salah satu kesatuan pondasi. Mengingkarinya berarti membatalkan semua yang lain.
Terhadap hal ini Ubadah bin Shamit pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan nikmatnya iman sampai meyakini bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan meleset darimu tak akan menimpamu.”
Ubadah kemudian meneruskan nasehatnya, “Aku mendengarkan Rasulullah bersabda, yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Pena. Allah berfirman, “Tulislah!” Pena itu bertanya, “Apa yang aku tulis?”Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!”
“Wahai anakku,” kata Ubadah lagi, “aku mendengar Rasulullah bersabda, barang siapa yang meninggal tidak dalam keyakinan seperti ini, dia tidak termasuk golonganku.” (Riwayat Abu Dawud)
Akibat fatal kedua adalah semua amal akan ditolak, betapapun banyaknya. Ketika Ibnu al-Dailami bertanya kepada Ubay bin Ka’b tentang qadar yang mengganjal dalam hatinya, Ubay menerangkan, “Walaupun engkau memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian kau infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tak akan menerimanya sampai engkau beriman kepada takdir.” (Riwayat Ibn Majah)
Akibat ketiga, mengingkari takdir berarti menafikan sifat berilmu Allah. Hal ini dikarenakan takdir merupakan bukti dari maha kesempurnaan ilmu Allah. Ia meliputi segala hal, barang maupun peristiwa, kecil maupun besar, dimana saja ruangnya, dan kapan saja waktunya.
Pengingkar takdir (qadariyah) sebenarnya bermaksud baik, yaitu mensucikan Allah dari sifat zalim (unfair). Misalnya, Allah melarang orang berbuat maksiat, tetapi sebagian telah ditentukan menjadi penghuni neraka. Jadi demikian, mana mungkin mereka menghindarinya?
Dalam domain manusia, argumen itu dapat diterima. Tetapi, jika manusia dengan akal terbatasnya mencoba menghakimi Allah, mengukur dan menilai keputusan-Nya, maka manusia salah besar. Sebab, manusia buta sama sekali terhadap alasan lengkap Allah mengambil keputusan demikian. Bila dipaksakan, maka mereka telah menghukumi Zat Yang Maha Tahu dengan modal ketidaktahuan. Dapat dipastikan hasilnya adalah kesalahan besar
2.      Penganut fatalisme yang fatal
Seorang fatalis adalah penunggu nasib dan menafikan manfaat usaha. Pemeluk paham ini tidak bisa diajak membangun. Sebab, dalam keyakinan mereka, usaha bagaimanapun nihil manfaat dan tidak dapat merubah nasib.
Jika kondisi yang alaminya menyedihkan, mereka akan cenderung berburuk sangka (su’uzhon) kepada Allah SWT. Ungkapan populer mereka adalah, “Takdir memang kejam!”
Namun, jika mereka mengalami kondisi yang enak, mereka terlalu yakin akan mendapat ampunan hingga berani bermaksiat (murjiah) kepada Allah. Berbagai ibadah besar mereka tinggalkan, seperti jihat, dakwah amar makruf serta nahi mungkar.

PENUH SEMANGAT
Jika kedua sikap diatas salah berdampak negatif, maka pemahaman yang tepat akan melahirkan sikap yang berdampak positif. Kesalahan terbesar yang harus dibenahi dalam memahami takdir adalah memasuki bagian takdir yang menjadi domain Allah. Misalnya, menentukan jenis kelamin, menetapkan jatah rezaki dan umur, menetapkan sengsara atau sejahtera. Semuan itu wilayah Allah SWT yang Maha Berilmu, Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Bagian takdir yang harus dijalani manusia adalah melakukan “SEBAB” dengan sungguh-sungguh jika menghendaki “AKIBAT” sambil berdoa kepada Allah untuk melengkapi “SEBAB” itu.
Hati pun harus senantiasa berbaik sangka (husnuzhan) kepada Allah. Apapun hasilnya itulah yang terbaik baginya menurut Allah. Jika berhasil, maka bersyukur. Jika gagal maka harus memperbaiki SEBAB itu agar mendapat AKIBAT yang lebih baik.

SEMANGAT BERKARYA
Iman kepada takdir seharusnya membuahkan semangat berkarya yang menggelora. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Rasulullah SAW. Orang yang paling paham tentang takdir, paling beriman kepada-Nya dan paling dekat dengan Allah.
Gamblang sekali dalam prilaku hidup beliau kegigihan dalam menempuh “SEBAB”. Beliau berdakwah secara rahasia dan terang-terangan selama tiga belas tahun , dan menerobos berbagai tantangan dan ancaman. Beliau juga melakukan tujuh puluh empat kali jihat fisik dan menerapkan berbagai strategi perang.
Sikap itu sangat kontras dengan sikap kaum fatalis yang terbukti menyebabkan penjajah dengan begitu lama bercokol di negeri-negeri Islam. Sambil pasrah, mereka masih berdalih dengan membelokkan kalam hikmah. Mereka berpendapat kedatangan para penjajah itu merupakan keputusan Zat Yang Dicintai. Apapun yang datang dari Zat yang Dicintai harus diterima dengan cinta pula.
Padahal, Rasulullah SAW menolak sikap pasif menunggu nasib. Beliau bersabda, “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya).” Lalu beliau membaca surat al-Lail ayat 5-10. (Muttafaq alaih)
Umar RA juga menegur keras orang yang menginginkan harta tanpa bekerja dan hanya sibuk berdoa. “Jangan lah ada seseorang diantara kalian yang tidak bekerja untuk mencari rezeki lantas berdoa, ‘Ya Allah berikanlah rezeki kepadaku’. Padahal kalian tahu sesungguhnya langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”
Sedangkan Imam Ahmad, saat ditanya tentang orang yang suka berpangku tangan di rumah atau di masjid menunggu rezeki, berkomentar, “Ia adalah orang bodoh tak berilmu!” (al-Ghozali, ihya’ Ulum al-Din, II/62-63)
Ironis, orang tipe ini sebenarnya kelah telak dengan iblis dalam memahami takdir. Iblis yang divonis laknat tidak pernah loyo bergantung pada takdir. Namun, di hadapan Allah, iblis menyampaikan tekatnya dengan semangat membara.
“Karena Engkau (ya Allah) telah menghukum saya tersesat,” kata ibils sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 16-17, “Maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (manusia) dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”

MENJADI PRIBADI KOKOH
Bila manusia ingin dicintai Allah, maka mereka harus membangun pribadi yang kuat. Lebih kuat beribadah mahdhah, lebih banyak berinfaq, lebih kuat berjihat dan lebih sering membantu orang lain. Rasulullah SAW berkata, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah, ‘Itu adalah takdir Allah,’ dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” (Riwayat Muslim)


Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah 1433|

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Search

Popular Posts

Translate

reza cute. Diberdayakan oleh Blogger.


Fans Pages

Get this widget!
close

Copyright © VANREZ -Reza Arrizal Firdaus- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan