Posted by : Reza Arrizal F
Kamis, Maret 21, 2013
Sebagai seorang beriman kita harus yakin
dengan sepenuh hati bahwa Allah memiliki rencana yang terperinci terhadap
makhluk-Nya, termasuk manusia. Beriman kepada Qadha dan Qadar Allah
termasuk rukun (pilar) iman. Tidak sah keimanan seseorang jika ia tidak
membenarkan ajaran takdir, tanpa ragu sedikitpun bahwa sesungguhnya Dia Maha
Luas Ilmu-Nya.
Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah seorang
hamba itu beriman kepada takdir yang baik dan buruk dari Allah, hingga ia
mengetahui bahwa apa yang menimpanya bukan karena kesalahannya, dan
kesalahannya itu tidaklah akan menimpanya.” (Riwayat At-Turmudzi)
SKENARIO LENGKAP
Beriman kepada takdir berarti kita meyakini
bahwa Allah telah memiliki rencana lengkap, terperinci dan pasti atas diri kita.
Tiada sekecil apa pun yang berkaitan dengan kita melainkan sudah termaktub
dalam rencana besar-Nya. Misalnya, siapa ibu bapak kita; apa nama yang
diberikan kepada kita; siapa jodoh kita; kapan ajal kita tiba; berapa bagian
rezeki kita; bagaimana nasib kita setelah meninggalkan dunia; dan seterusnya.
Allah berfirman:
@è%
`©9
!$uZu;ÅÁã
wÎ)
$tB
|=tF2
ª!$#
$uZs9
uqèd
$uZ9s9öqtB
4 n?tãur
«!$#
È@2uqtGuù=sù
cqãZÏB÷sßJø9$#
ÇÎÊÈ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah
orang-orang yang beriman harus bertawakal." (At-Taubah :
51)
Dengan kata lain, semua lakon kehidupan
manusia sejak kelahirannya hingga kematiannya sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan oleh Allah tanpa bisa diubah dan diselisihi, baik yang besar ataupun
yang kecil, masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Kebanyakan manusia salah paham memandang
ajaran takdir. Bila masa lalunya dipenuhi berbagai kegagalan, mereka cenderung
mempersepsikan bahwa itu suratan takdirnya. Mereka cenderung berfikir negative.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mengubah diri. Mereka
menjadi apatis dan pasif. Padahal, ketidaksuksesan itu boleh jadi bukan karena
dirinya, melainkan karena Allah belum menghendakinya.
Apabila seseorang mencoba namun belum juga
sukses, bukan berarti mereka tidak mampu, bukan berarti pula mereka tidak
sanggup. Boleh jadi ketidaksuksesan itu muncul dari rasa subjektivitas mereka.
Mereka lupa bahwa keberhasilan itu diperoleh melalui beberapa kali percobaan.
Berbagai pengalaman gagal justru menjadi modal penting meraih sukses.
Sebaliknya, orang yang masa lalunya dipenuhi berbagai keberhasilan, cenderung
memiliki mental optimis yang berlebihan. Mereka merasa seakan-akan keberhasilan
itu suratan takdirnya. Mereka melihat diri mereka tidak mungkin jatuh. Mereka
tidak menyadari bahwa dunia ini mengalami pasang surut (fluktuatif).
Jika takdir gagal menyambangi mereka maka
mereka langsung tak bisa menerimanya. Mereka cenderung mengkambinghitamkan
orang lain dan Tuhan. Mereka hanya siap menerima kemenangan dan tidak siap
menerima kekalahan. Mereka menjadi sombing dan tinggi hati, iri hati dan sakit
hati.
Bagitulah manusia, kebanyakan tidak benar
memahami takdir. Hal demikian akan melahirkan manusia yang jiwanya terbelah,
tidak seimbang, tidak utuh (split personality)
CARA MENYIKAPI TAKDIR
Rasulullah memberikan tuntunan yang indah
dalam menyikapi takdir. Sabda beliau, “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang
bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan
sekali-kali merasa tidak berdaya. Dan apabila engkau tertimpa suatu kemalangan
maka janganlah engkau berkata, ‘Seandainya aku berbuat (begini) tentu begini
dan begitu”. Tapi kataknlah, “Allah telah menakdirkan (begitu)”. Dan apa yang
dia kehendaki Dia perbuat, karena perkataan Seandainya itu membuka pintu
setan.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Berdasarkan Hadist diatas, setidaknya ada
empat pelajaran penting tentang iman kepada takdir, yakni:
Manusia harus terlebih dahulu menentukan sasaran yang
jelas mengenai apa yang bermanfaat bagi kehidupannya. Kita boleh berupaya
memperoleh ilmu, harta, kekuasaan, pengaruh dan yang lainnya, asal semua itu
bukan untuk mendatangkan mudharat (bahaya yang mengancam) bagi dirinya
dan orang lain. Sesungguhnya Allah memberikan sesuatu kepada seseorang
berbanding lurus dengan gambaran mentalnya. Rasulullah SAW dalam Hadist yang
diriwayatkan Tahbrani dan Abu Nu’aim dari Watsilah, berkata bahwa Allah
menuruti persangkaan hamba-Nya terhadap-Nya, kalau baik maka baiklah ia. Kalau
buruk maka buruklah.
Berikhtiar semaksimal mungkin. Adapun hasil akhir,
serahkan kepada Allah. Manusia hanya berusaha. Dia yang menentukan.
Mohon pertolongan Allah dalam berusaha. Sebab, bagi-Nya
tidak ada yang sulit, berat, apalagi jalan buntu. Dia penguasa segala-galanya
tanpa dibatasi apapun.
Janganlah merasa tidak berdaya, karena pada dasarnya
setiap manusia telah diberi potensi-potensi yang dahsyat.
Jika hari ini kita dirundung duka, jangan
larut dalam kesedihan. Sebaliknya, jika kita sedang naik daun, jangan larut
dalam kesenangan. Sesungguhnya kenikmatan itu tidak kekal (laa yadum).
BAHAYA “SEANDAINYA”
Rasulullah senantiasa mengajarkan kepada
manusia agar berfikir positif. Berikut adalah langkah-langkahnya:
1. Jangan berkata, “Seandainya aku kerjakan begitu pasti terjadi begini”.
Atau, “Seandainya aku tidak mengejarkan begitu tentu tidak akan terjadi
begini.” Perkataan tersebut berarti kita lupa bahwa apa yang telah terjadi di
masa lalu sudah sesuai dengan apa yang menjadi takdir kita saat ini.
2. Tapi berkatalah, “Allah telah mantakdirkan bagitu dan apa yang Dia
kehendaki Dia perbuat”. Jadi, apa yang telah terjadi terhadap diri kita adalah
atas kehendak Allah yang tak mungkin dihindari dan diubah oleh siapapun. Kita
harus menerima semua itu sebagai kenyataan. Kita harus bersikap realistis. Kita
tidak usah larut dalam kekecewaan, agar tidak memboroskan energi untuk hal-hal
yang destruktif.
3. Janganlah mengatakan “Seandainya” bila keberatan dengan takdir. Kata-kata
“Seandainya” hanya membuka pintu setan.
Apa yang kita andaikan sekarang untuk
dilakukan atau tidak dilakukan di masa lalu, maupun efek dari perbuatan yang
diandaikan itu, mustahil terjadi. Sebab, masa lalu itu tidak mungkin bisa
ditarik kembali untuk diperbaiki sesuai dengan kemauan kita sekarang ini.
Jika, apa manfaatnya berkata “Seandainya”?
perkataan itu hanya akan memicu penyesalan yang berlarut-larut, marah yang
tidak terkendali, dendam yang semakin membara, serakah dan dengki. Semua itu
hanya akan menghabiskan energi dan potensi manusia.
Kita harus sadar bahwa kehidupan di dunia ini
pasti mengalami pasang surut. Itulah romantika kehidupan. Bahkan boleh jadi
lewat romantika itulah pahala mengalir deras untuk kita. Bukankah pahala itu
berbanding lurus dengan tingkat kesulitan dan kepayahan kaus Muslim?
Pertolongan Allah mustahil datang dengan cara instan (tiba-tiba) dan gratis (majjanan).
Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah
1433|
Allah Maha besar
BalasHapus