Archive for Maret 2013
Kamis, Maret 21, 2013
Imam Ja’far Ash-Shadiq termasuk salah satu
Ahlul Bait yang senang memakai pakaian yang bagus. Sikap itu menimbulkan
pertanyaan dari berbagai orang disekitar. Namun, setelah ia menjelaskan bahwa
apa yang dipakai itu tidak membuatnya lalai kepada Allah, kemudian banyak orang
yang menerimanya.
Suatu ketika Sufyan al-Tsaury, berkata
kepadanya, “Anda tidak selayaknya menceburkan diri dalam kemewahan duniaqi.
Dari andalah diharapkan ketaqwaan, kezuhudan dan sifat menghindari dunia”.
Mendengar hal itu Imam Ja’far ash-Shadiq
berkata, “Dengat baik-baik hai Sufyan. Nabi hidup di suatu masa dan keadaan
dimana kesengsaraan, kemiskinan dan kesempitan melanda mereka. Kehidupan Nabi
dan Sahabt-sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi
yang menimpa semua orang. Tapi kalau hidup di suatu masa dimana
keperluan-keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya mengizinkan kita untuk
menikmati pemberian-pemberian ilahi, maka yang paling berhak untuk menikmati
karunia dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang yang saleh dan bertaqwa,
bukan orang-orang fasiq atau kafir, melainkan orang-orang Muslim. Demi Allah,
meskipun sebagaimana yang engkau lihat aku menikmati pemberian-pemberian dan
nikmat-nikmat Illahi ini, tapi tidak pernah malam dan siang berlalu tanpa aku
menyadari apakah hak orang lain masih ada ditanganku atau tidak. Kalau ada,
segera akun lunasi dan kusampaikan kepadanya.” Setelah mendengar penjelasan
tersebut Sufyan terdiam.
Dikalangan ulama, Imam Ja’far ash-Shadiq
diakui sebagai orang yang faqih dan tsiqah (terpercaya). Imam Abu
Hanifah berkata, “Tidak ada yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.” Abu
Hatim ar-Razi berkata, “(Dia) stiqah, tidak perlu dipertanyakan orang
skaliber dia.”
Para Imam Hadist kecuali al-Bukhari
meriwayatkan Hadist-hadistnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam
al-Bukhari meriwayatkan Hadistnya dikitab lainnya, bukan di ash-Shahih. Ibnu
Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah
dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah.” Ibnu Taimiyah memujinya dengan
ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan
kesepakatan ahli Sunnah.” Banyak ulama yang mengambil ilmu darinya, diantaranya
Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi). Dalam hal ini ia berkata, “Jika aku
tidak belajar kepada Imam Ja’fat selama dua tahun, maka binasalah aku.”
Ketika di jamannya, telah muncul al-Ja’d bin
Dirham dan pengaruh al-Jahm bin Shafwan yang mengajarkan bahwa al-Qur’an adalah
makhluk. Aqidah ini juga mempengaruhi orang-orang Syi’ah. Akan tetapi, Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur’an bukan Khaliq
(Pencipta), juga bukan makhluk, tapi Kalamullah. Prinsip ini diikuti oleh para
ahli Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu,
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan
Rasul-Nya.
Ia juga menolak jika dirinya dianggap Maksum
(terjaga dari dosa). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdul Jabbar bin
al-‘Abbas al-Hamdani berkata, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad (Ja’fat
ash-Shadiq) menghampiri mereka saat aku meninggalkan Madinah. Ia berkata
‘Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang yang saleh dari Madinah,
maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barang siapa yang
menganggapku imam maksum yang wajib ditaati, aku berlepas diri darinya.”
GEMAR BERSEDEKAH
As-Shadiq merupakan gelar yang selalu bersemat
padanya. Kata ash-Shadiq itu, tidaklah tidaklah disebutkan kecuali mengarah
kepadanya. Ia terkenal dengan kejujuran dalam Hadist, ucapan-ucapan dan
tindakan-tindakannya. Meski demikian, ia bukan manusia yang maksum seperti yang
diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini ia akui sendiri bahwa al ‘Ishmah (maksum)
hanyalah milik Nabi.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan
kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi
keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang
dermawan. Sebagaimana Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati.
Dalam hal ini kedermawanan ini, ia seakan
meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan
sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum,
daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, serta dibagikan kepada
orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah,
tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa
kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.
Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang
terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan
kepada pihak yang dirugikan untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslim.
Imam Ja’far ash-Shadiq, menempuh perjalanan
ilmiahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat
Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as-Sa’idi dan Anas bin Malik
RA. Dia juga berguru pada Sayyidu Tabi’in ‘Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin
Syihab az-Zuhri, ‘Urwah bin az-Zubair, Muhammad bin al-Munkadir dan ‘Abdullah
bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari
kakeknya, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal
dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki
ketinggian dalam amanah dan kejujuran. Sedangkan murid-muridnya yang peling
terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al-Anshari, Malik bin Anas al-Ashbahi, Sufyan
as-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj. Juga Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah dan
masih banyak lagi.
Golongan Syi’ah mendaulatnya sebagai imam
keenam. Namun, pernyataan-pernyataan dan aqidah mereka berbeda dengan yang
diyakini Imam Ja’far ash-Shadiq. Misalnya, sikap dan kecintaannya terhadap Abu
Bakr dan Umar bin al-Kaththab tidak perlu dipertanyakan, sedang Syi’ah sangat
mencela dua sahabat tersebut.
Imam Ja’far ash-Shadiq tidak mungkin mencela
mereka berdua. Sebab, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al-Qasim bin Muhammad bin
Abi Bakr ash-Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah Asma’ bintu
Abdir Rahman bin Abi Bakr ash-Shiddiq. Ini artinya Abu Bakr adalah kakeknya
sehingga sulit dimengerti jika beliau mencaci dan mencela kekaknya. Ja’far
sendiri berkata, “Abu Bakr melahirkan diriku dua kali.”
Imam Ja’far lahir di kota Madinah pada tahun
80 H. Beliau dikaruniai beberapa anak. Beliau wafat di Madinah pada tahun 148 H
dalam usia 68 tahun.
Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah
1433|
Tag :// A. Kajian Islam,
Tag :// B. Tokoh
Adakalanya batin kita berbisik, “Percuma saja
berupaya jika segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah.” Di lain waktu, suara
batin kita mungkin berkata, “Untuk apa lagi berusaha bila semuanya telah
ditakdirkan, sia-sia.”
Bisikan batin seperti ini bila hinggap di
batin manusia yang pendek nalarnya, mungkin kita tak terlalu heran. Tapi jika
itu terjadi pada manusia beriman maka sungguh ini keanehan yang sebenarnya.
Sebab, setiap mukmin seharusnya mengimani qadha. Qadha adalah salah satu rukun
iman yang wajib diimani oleh seluruh kaum Muslim tanpa terkecuali. Ia tidak
dapat dipisahkan dari lima rukun yang lain.
KESALAHAN FATAL
Ketiadaan iman kepada rukun yang satu ini
dampaknya tidak ringan, baik dalam keabsahan iman maupun realitas kehidupan.
Kesalahan dalam menyikapi rukun iman yang satu ini, konsekuensinya sangat
fatal. Bukan sekedar kesengsaraan hidup di dunia saja, tapi juga penderitaan di
akhirat.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk kesalahan
fatal tersebut:
1.
Mengingkari takdir, mengedepankan pikir
Sikap ini sangat berbahaya dan mempunyai
beberapa akibat fatal. Akibat pertama, membatalkan semua keimanan yang lain.
Walaupun iman kepada takdir hanya satu unsur dari enam rukun iman, tetapi
kesemuanya adalah salah satu kesatuan pondasi. Mengingkarinya berarti
membatalkan semua yang lain.
Terhadap hal ini Ubadah bin Shamit pernah
berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan nikmatnya
iman sampai meyakini bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tak akan meleset darimu
dan apa yang ditakdirkan meleset darimu tak akan menimpamu.”
Ubadah kemudian meneruskan nasehatnya, “Aku
mendengarkan Rasulullah bersabda, yang pertama kali diciptakan oleh Allah
adalah Pena. Allah berfirman, “Tulislah!” Pena itu bertanya, “Apa yang aku
tulis?”Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!”
“Wahai anakku,” kata Ubadah lagi, “aku
mendengar Rasulullah bersabda, barang siapa yang meninggal tidak dalam
keyakinan seperti ini, dia tidak termasuk golonganku.” (Riwayat Abu Dawud)
Akibat fatal kedua adalah semua amal akan
ditolak, betapapun banyaknya. Ketika Ibnu al-Dailami bertanya kepada Ubay bin
Ka’b tentang qadar yang mengganjal dalam hatinya, Ubay menerangkan,
“Walaupun engkau memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian kau infakkan di
jalan Allah, niscaya Allah tak akan menerimanya sampai engkau beriman kepada
takdir.” (Riwayat Ibn Majah)
Akibat ketiga, mengingkari takdir berarti
menafikan sifat berilmu Allah. Hal ini dikarenakan takdir merupakan bukti dari maha
kesempurnaan ilmu Allah. Ia meliputi segala hal, barang maupun peristiwa, kecil
maupun besar, dimana saja ruangnya, dan kapan saja waktunya.
Pengingkar takdir (qadariyah)
sebenarnya bermaksud baik, yaitu mensucikan Allah dari sifat zalim (unfair).
Misalnya, Allah melarang orang berbuat maksiat, tetapi sebagian telah
ditentukan menjadi penghuni neraka. Jadi demikian, mana mungkin mereka
menghindarinya?
Dalam domain manusia, argumen itu dapat
diterima. Tetapi, jika manusia dengan akal terbatasnya mencoba menghakimi
Allah, mengukur dan menilai keputusan-Nya, maka manusia salah besar. Sebab,
manusia buta sama sekali terhadap alasan lengkap Allah mengambil keputusan demikian.
Bila dipaksakan, maka mereka telah menghukumi Zat Yang Maha Tahu dengan modal
ketidaktahuan. Dapat dipastikan hasilnya adalah kesalahan besar
2.
Penganut fatalisme yang fatal
Seorang fatalis adalah penunggu nasib dan
menafikan manfaat usaha. Pemeluk paham ini tidak bisa diajak membangun. Sebab,
dalam keyakinan mereka, usaha bagaimanapun nihil manfaat dan tidak dapat
merubah nasib.
Jika kondisi yang alaminya menyedihkan, mereka
akan cenderung berburuk sangka (su’uzhon) kepada Allah SWT. Ungkapan
populer mereka adalah, “Takdir memang kejam!”
Namun, jika mereka mengalami kondisi yang
enak, mereka terlalu yakin akan mendapat ampunan hingga berani bermaksiat (murjiah)
kepada Allah. Berbagai ibadah besar mereka tinggalkan, seperti jihat, dakwah amar
makruf serta nahi mungkar.
PENUH SEMANGAT
Jika kedua sikap diatas salah berdampak
negatif, maka pemahaman yang tepat akan melahirkan sikap yang berdampak
positif. Kesalahan terbesar yang harus dibenahi dalam memahami takdir adalah
memasuki bagian takdir yang menjadi domain Allah. Misalnya, menentukan jenis
kelamin, menetapkan jatah rezaki dan umur, menetapkan sengsara atau sejahtera. Semuan
itu wilayah Allah SWT yang Maha Berilmu, Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha
Bijaksana.
Bagian takdir yang harus dijalani manusia adalah
melakukan “SEBAB” dengan sungguh-sungguh jika menghendaki “AKIBAT” sambil
berdoa kepada Allah untuk melengkapi “SEBAB” itu.
Hati pun harus senantiasa berbaik sangka (husnuzhan)
kepada Allah. Apapun hasilnya itulah yang terbaik baginya menurut Allah. Jika
berhasil, maka bersyukur. Jika gagal maka harus memperbaiki SEBAB itu agar
mendapat AKIBAT yang lebih baik.
SEMANGAT BERKARYA
Iman kepada takdir seharusnya membuahkan
semangat berkarya yang menggelora. Contoh terbaik dalam hal ini adalah
Rasulullah SAW. Orang yang paling paham tentang takdir, paling beriman
kepada-Nya dan paling dekat dengan Allah.
Gamblang sekali dalam prilaku hidup beliau
kegigihan dalam menempuh “SEBAB”. Beliau berdakwah secara rahasia dan
terang-terangan selama tiga belas tahun , dan menerobos berbagai tantangan dan
ancaman. Beliau juga melakukan tujuh puluh empat kali jihat fisik dan
menerapkan berbagai strategi perang.
Sikap itu sangat kontras dengan sikap kaum
fatalis yang terbukti menyebabkan penjajah dengan begitu lama bercokol di
negeri-negeri Islam. Sambil pasrah, mereka masih berdalih dengan membelokkan
kalam hikmah. Mereka berpendapat kedatangan para penjajah itu merupakan
keputusan Zat Yang Dicintai. Apapun yang datang dari Zat yang Dicintai harus
diterima dengan cinta pula.
Padahal, Rasulullah SAW menolak sikap pasif
menunggu nasib. Beliau bersabda, “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing
akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya).” Lalu beliau membaca surat
al-Lail ayat 5-10. (Muttafaq alaih)
Umar RA juga menegur keras orang yang
menginginkan harta tanpa bekerja dan hanya sibuk berdoa. “Jangan lah ada
seseorang diantara kalian yang tidak bekerja untuk mencari rezeki lantas
berdoa, ‘Ya Allah berikanlah rezeki kepadaku’. Padahal kalian tahu sesungguhnya
langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”
Sedangkan Imam Ahmad, saat ditanya tentang
orang yang suka berpangku tangan di rumah atau di masjid menunggu rezeki,
berkomentar, “Ia adalah orang bodoh tak berilmu!” (al-Ghozali, ihya’ Ulum
al-Din, II/62-63)
Ironis, orang tipe ini sebenarnya kelah telak
dengan iblis dalam memahami takdir. Iblis yang divonis laknat tidak pernah loyo
bergantung pada takdir. Namun, di hadapan Allah, iblis menyampaikan tekatnya
dengan semangat membara.
“Karena Engkau (ya Allah) telah menghukum saya
tersesat,” kata ibils sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-A’raf
ayat 16-17, “Maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (manusia)
dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka
dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
MENJADI PRIBADI KOKOH
Bila manusia ingin dicintai Allah, maka mereka
harus membangun pribadi yang kuat. Lebih kuat beribadah mahdhah, lebih
banyak berinfaq, lebih kuat berjihat dan lebih sering membantu orang lain.
Rasulullah SAW berkata, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang
lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal
yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah
malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah, ‘Itu adalah takdir
Allah,’ dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” (Riwayat Muslim)
Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah
1433|
Tag :// A. Kajian Islam
Sebagai seorang beriman kita harus yakin
dengan sepenuh hati bahwa Allah memiliki rencana yang terperinci terhadap
makhluk-Nya, termasuk manusia. Beriman kepada Qadha dan Qadar Allah
termasuk rukun (pilar) iman. Tidak sah keimanan seseorang jika ia tidak
membenarkan ajaran takdir, tanpa ragu sedikitpun bahwa sesungguhnya Dia Maha
Luas Ilmu-Nya.
Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah seorang
hamba itu beriman kepada takdir yang baik dan buruk dari Allah, hingga ia
mengetahui bahwa apa yang menimpanya bukan karena kesalahannya, dan
kesalahannya itu tidaklah akan menimpanya.” (Riwayat At-Turmudzi)
SKENARIO LENGKAP
Beriman kepada takdir berarti kita meyakini
bahwa Allah telah memiliki rencana lengkap, terperinci dan pasti atas diri kita.
Tiada sekecil apa pun yang berkaitan dengan kita melainkan sudah termaktub
dalam rencana besar-Nya. Misalnya, siapa ibu bapak kita; apa nama yang
diberikan kepada kita; siapa jodoh kita; kapan ajal kita tiba; berapa bagian
rezeki kita; bagaimana nasib kita setelah meninggalkan dunia; dan seterusnya.
Allah berfirman:
@è%
`©9
!$uZu;ÅÁã
wÎ)
$tB
|=tF2
ª!$#
$uZs9
uqèd
$uZ9s9öqtB
4 n?tãur
«!$#
È@2uqtGuù=sù
cqãZÏB÷sßJø9$#
ÇÎÊÈ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah
orang-orang yang beriman harus bertawakal." (At-Taubah :
51)
Dengan kata lain, semua lakon kehidupan
manusia sejak kelahirannya hingga kematiannya sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan oleh Allah tanpa bisa diubah dan diselisihi, baik yang besar ataupun
yang kecil, masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Kebanyakan manusia salah paham memandang
ajaran takdir. Bila masa lalunya dipenuhi berbagai kegagalan, mereka cenderung
mempersepsikan bahwa itu suratan takdirnya. Mereka cenderung berfikir negative.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mengubah diri. Mereka
menjadi apatis dan pasif. Padahal, ketidaksuksesan itu boleh jadi bukan karena
dirinya, melainkan karena Allah belum menghendakinya.
Apabila seseorang mencoba namun belum juga
sukses, bukan berarti mereka tidak mampu, bukan berarti pula mereka tidak
sanggup. Boleh jadi ketidaksuksesan itu muncul dari rasa subjektivitas mereka.
Mereka lupa bahwa keberhasilan itu diperoleh melalui beberapa kali percobaan.
Berbagai pengalaman gagal justru menjadi modal penting meraih sukses.
Sebaliknya, orang yang masa lalunya dipenuhi berbagai keberhasilan, cenderung
memiliki mental optimis yang berlebihan. Mereka merasa seakan-akan keberhasilan
itu suratan takdirnya. Mereka melihat diri mereka tidak mungkin jatuh. Mereka
tidak menyadari bahwa dunia ini mengalami pasang surut (fluktuatif).
Jika takdir gagal menyambangi mereka maka
mereka langsung tak bisa menerimanya. Mereka cenderung mengkambinghitamkan
orang lain dan Tuhan. Mereka hanya siap menerima kemenangan dan tidak siap
menerima kekalahan. Mereka menjadi sombing dan tinggi hati, iri hati dan sakit
hati.
Bagitulah manusia, kebanyakan tidak benar
memahami takdir. Hal demikian akan melahirkan manusia yang jiwanya terbelah,
tidak seimbang, tidak utuh (split personality)
CARA MENYIKAPI TAKDIR
Rasulullah memberikan tuntunan yang indah
dalam menyikapi takdir. Sabda beliau, “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang
bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan
sekali-kali merasa tidak berdaya. Dan apabila engkau tertimpa suatu kemalangan
maka janganlah engkau berkata, ‘Seandainya aku berbuat (begini) tentu begini
dan begitu”. Tapi kataknlah, “Allah telah menakdirkan (begitu)”. Dan apa yang
dia kehendaki Dia perbuat, karena perkataan Seandainya itu membuka pintu
setan.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Berdasarkan Hadist diatas, setidaknya ada
empat pelajaran penting tentang iman kepada takdir, yakni:
Manusia harus terlebih dahulu menentukan sasaran yang
jelas mengenai apa yang bermanfaat bagi kehidupannya. Kita boleh berupaya
memperoleh ilmu, harta, kekuasaan, pengaruh dan yang lainnya, asal semua itu
bukan untuk mendatangkan mudharat (bahaya yang mengancam) bagi dirinya
dan orang lain. Sesungguhnya Allah memberikan sesuatu kepada seseorang
berbanding lurus dengan gambaran mentalnya. Rasulullah SAW dalam Hadist yang
diriwayatkan Tahbrani dan Abu Nu’aim dari Watsilah, berkata bahwa Allah
menuruti persangkaan hamba-Nya terhadap-Nya, kalau baik maka baiklah ia. Kalau
buruk maka buruklah.
Berikhtiar semaksimal mungkin. Adapun hasil akhir,
serahkan kepada Allah. Manusia hanya berusaha. Dia yang menentukan.
Mohon pertolongan Allah dalam berusaha. Sebab, bagi-Nya
tidak ada yang sulit, berat, apalagi jalan buntu. Dia penguasa segala-galanya
tanpa dibatasi apapun.
Janganlah merasa tidak berdaya, karena pada dasarnya
setiap manusia telah diberi potensi-potensi yang dahsyat.
Jika hari ini kita dirundung duka, jangan
larut dalam kesedihan. Sebaliknya, jika kita sedang naik daun, jangan larut
dalam kesenangan. Sesungguhnya kenikmatan itu tidak kekal (laa yadum).
BAHAYA “SEANDAINYA”
Rasulullah senantiasa mengajarkan kepada
manusia agar berfikir positif. Berikut adalah langkah-langkahnya:
1. Jangan berkata, “Seandainya aku kerjakan begitu pasti terjadi begini”.
Atau, “Seandainya aku tidak mengejarkan begitu tentu tidak akan terjadi
begini.” Perkataan tersebut berarti kita lupa bahwa apa yang telah terjadi di
masa lalu sudah sesuai dengan apa yang menjadi takdir kita saat ini.
2. Tapi berkatalah, “Allah telah mantakdirkan bagitu dan apa yang Dia
kehendaki Dia perbuat”. Jadi, apa yang telah terjadi terhadap diri kita adalah
atas kehendak Allah yang tak mungkin dihindari dan diubah oleh siapapun. Kita
harus menerima semua itu sebagai kenyataan. Kita harus bersikap realistis. Kita
tidak usah larut dalam kekecewaan, agar tidak memboroskan energi untuk hal-hal
yang destruktif.
3. Janganlah mengatakan “Seandainya” bila keberatan dengan takdir. Kata-kata
“Seandainya” hanya membuka pintu setan.
Apa yang kita andaikan sekarang untuk
dilakukan atau tidak dilakukan di masa lalu, maupun efek dari perbuatan yang
diandaikan itu, mustahil terjadi. Sebab, masa lalu itu tidak mungkin bisa
ditarik kembali untuk diperbaiki sesuai dengan kemauan kita sekarang ini.
Jika, apa manfaatnya berkata “Seandainya”?
perkataan itu hanya akan memicu penyesalan yang berlarut-larut, marah yang
tidak terkendali, dendam yang semakin membara, serakah dan dengki. Semua itu
hanya akan menghabiskan energi dan potensi manusia.
Kita harus sadar bahwa kehidupan di dunia ini
pasti mengalami pasang surut. Itulah romantika kehidupan. Bahkan boleh jadi
lewat romantika itulah pahala mengalir deras untuk kita. Bukankah pahala itu
berbanding lurus dengan tingkat kesulitan dan kepayahan kaus Muslim?
Pertolongan Allah mustahil datang dengan cara instan (tiba-tiba) dan gratis (majjanan).
Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah
1433|
Tag :// A. Kajian Islam