Archive for Maret 2013

Kamis, Maret 21, 2013
Imam Ja’far Ash-Shadiq termasuk salah satu Ahlul Bait yang senang memakai pakaian yang bagus. Sikap itu menimbulkan pertanyaan dari berbagai orang disekitar. Namun, setelah ia menjelaskan bahwa apa yang dipakai itu tidak membuatnya lalai kepada Allah, kemudian banyak orang yang menerimanya.
Suatu ketika Sufyan al-Tsaury, berkata kepadanya, “Anda tidak selayaknya menceburkan diri dalam kemewahan duniaqi. Dari andalah diharapkan ketaqwaan, kezuhudan dan sifat menghindari dunia”.
Mendengar hal itu Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Dengat baik-baik hai Sufyan. Nabi hidup di suatu masa dan keadaan dimana kesengsaraan, kemiskinan dan kesempitan melanda mereka. Kehidupan Nabi dan Sahabt-sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi yang menimpa semua orang. Tapi kalau hidup di suatu masa dimana keperluan-keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya mengizinkan kita untuk menikmati pemberian-pemberian ilahi, maka yang paling berhak untuk menikmati karunia dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang yang saleh dan bertaqwa, bukan orang-orang fasiq atau kafir, melainkan orang-orang Muslim. Demi Allah, meskipun sebagaimana yang engkau lihat aku menikmati pemberian-pemberian dan nikmat-nikmat Illahi ini, tapi tidak pernah malam dan siang berlalu tanpa aku menyadari apakah hak orang lain masih ada ditanganku atau tidak. Kalau ada, segera akun lunasi dan kusampaikan kepadanya.” Setelah mendengar penjelasan tersebut Sufyan terdiam.
Dikalangan ulama, Imam Ja’far ash-Shadiq diakui sebagai orang yang faqih dan tsiqah (terpercaya). Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak ada yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.” Abu Hatim ar-Razi berkata, “(Dia) stiqah, tidak perlu dipertanyakan orang skaliber dia.”
Para Imam Hadist kecuali al-Bukhari meriwayatkan Hadist-hadistnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadistnya dikitab lainnya, bukan di ash-Shahih. Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah.” Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan ahli Sunnah.” Banyak ulama yang mengambil ilmu darinya, diantaranya Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi). Dalam hal ini ia berkata, “Jika aku tidak belajar kepada Imam Ja’fat selama dua tahun, maka binasalah aku.”
Ketika di jamannya, telah muncul al-Ja’d bin Dirham dan pengaruh al-Jahm bin Shafwan yang mengajarkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Aqidah ini juga mempengaruhi orang-orang Syi’ah. Akan tetapi, Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur’an bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tapi Kalamullah. Prinsip ini diikuti oleh para ahli Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu, menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya.
Ia juga menolak jika dirinya dianggap Maksum (terjaga dari dosa). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdul Jabbar bin al-‘Abbas al-Hamdani berkata, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad (Ja’fat ash-Shadiq) menghampiri mereka saat aku meninggalkan Madinah. Ia berkata ‘Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang yang saleh dari Madinah, maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barang siapa yang menganggapku imam maksum yang wajib ditaati, aku berlepas diri darinya.”
GEMAR BERSEDEKAH
As-Shadiq merupakan gelar yang selalu bersemat padanya. Kata ash-Shadiq itu, tidaklah tidaklah disebutkan kecuali mengarah kepadanya. Ia terkenal dengan kejujuran dalam Hadist, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Meski demikian, ia bukan manusia yang maksum seperti yang diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini ia akui sendiri bahwa al ‘Ishmah (maksum) hanyalah milik Nabi.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati.
Dalam hal ini kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, serta dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.
Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslim.
Imam Ja’far ash-Shadiq, menempuh perjalanan ilmiahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as-Sa’idi dan Anas bin Malik RA. Dia juga berguru pada Sayyidu Tabi’in ‘Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, ‘Urwah bin az-Zubair, Muhammad bin al-Munkadir dan ‘Abdullah bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran. Sedangkan murid-muridnya yang peling terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al-Anshari, Malik bin Anas al-Ashbahi, Sufyan as-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj. Juga Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.
Golongan Syi’ah mendaulatnya sebagai imam keenam. Namun, pernyataan-pernyataan dan aqidah mereka berbeda dengan yang diyakini Imam Ja’far ash-Shadiq. Misalnya, sikap dan kecintaannya terhadap Abu Bakr dan Umar bin al-Kaththab tidak perlu dipertanyakan, sedang Syi’ah sangat mencela dua sahabat tersebut.
Imam Ja’far ash-Shadiq tidak mungkin mencela mereka berdua. Sebab, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash-Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah Asma’ bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr ash-Shiddiq. Ini artinya Abu Bakr adalah kakeknya sehingga sulit dimengerti jika beliau mencaci dan mencela kekaknya. Ja’far sendiri berkata, “Abu Bakr melahirkan diriku dua kali.”
Imam Ja’far lahir di kota Madinah pada tahun 80 H. Beliau dikaruniai beberapa anak. Beliau wafat di Madinah pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.



Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah 1433|
Adakalanya batin kita berbisik, “Percuma saja berupaya jika segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah.” Di lain waktu, suara batin kita mungkin berkata, “Untuk apa lagi berusaha bila semuanya telah ditakdirkan, sia-sia.”
Bisikan batin seperti ini bila hinggap di batin manusia yang pendek nalarnya, mungkin kita tak terlalu heran. Tapi jika itu terjadi pada manusia beriman maka sungguh ini keanehan yang sebenarnya. Sebab, setiap mukmin seharusnya mengimani qadha. Qadha adalah salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh seluruh kaum Muslim tanpa terkecuali. Ia tidak dapat dipisahkan dari lima rukun yang lain.

KESALAHAN FATAL
Ketiadaan iman kepada rukun yang satu ini dampaknya tidak ringan, baik dalam keabsahan iman maupun realitas kehidupan. Kesalahan dalam menyikapi rukun iman yang satu ini, konsekuensinya sangat fatal. Bukan sekedar kesengsaraan hidup di dunia saja, tapi juga penderitaan di akhirat.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk kesalahan fatal tersebut:
1.      Mengingkari takdir, mengedepankan pikir
Sikap ini sangat berbahaya dan mempunyai beberapa akibat fatal. Akibat pertama, membatalkan semua keimanan yang lain. Walaupun iman kepada takdir hanya satu unsur dari enam rukun iman, tetapi kesemuanya adalah salah satu kesatuan pondasi. Mengingkarinya berarti membatalkan semua yang lain.
Terhadap hal ini Ubadah bin Shamit pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan nikmatnya iman sampai meyakini bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan meleset darimu tak akan menimpamu.”
Ubadah kemudian meneruskan nasehatnya, “Aku mendengarkan Rasulullah bersabda, yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Pena. Allah berfirman, “Tulislah!” Pena itu bertanya, “Apa yang aku tulis?”Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!”
“Wahai anakku,” kata Ubadah lagi, “aku mendengar Rasulullah bersabda, barang siapa yang meninggal tidak dalam keyakinan seperti ini, dia tidak termasuk golonganku.” (Riwayat Abu Dawud)
Akibat fatal kedua adalah semua amal akan ditolak, betapapun banyaknya. Ketika Ibnu al-Dailami bertanya kepada Ubay bin Ka’b tentang qadar yang mengganjal dalam hatinya, Ubay menerangkan, “Walaupun engkau memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian kau infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tak akan menerimanya sampai engkau beriman kepada takdir.” (Riwayat Ibn Majah)
Akibat ketiga, mengingkari takdir berarti menafikan sifat berilmu Allah. Hal ini dikarenakan takdir merupakan bukti dari maha kesempurnaan ilmu Allah. Ia meliputi segala hal, barang maupun peristiwa, kecil maupun besar, dimana saja ruangnya, dan kapan saja waktunya.
Pengingkar takdir (qadariyah) sebenarnya bermaksud baik, yaitu mensucikan Allah dari sifat zalim (unfair). Misalnya, Allah melarang orang berbuat maksiat, tetapi sebagian telah ditentukan menjadi penghuni neraka. Jadi demikian, mana mungkin mereka menghindarinya?
Dalam domain manusia, argumen itu dapat diterima. Tetapi, jika manusia dengan akal terbatasnya mencoba menghakimi Allah, mengukur dan menilai keputusan-Nya, maka manusia salah besar. Sebab, manusia buta sama sekali terhadap alasan lengkap Allah mengambil keputusan demikian. Bila dipaksakan, maka mereka telah menghukumi Zat Yang Maha Tahu dengan modal ketidaktahuan. Dapat dipastikan hasilnya adalah kesalahan besar
2.      Penganut fatalisme yang fatal
Seorang fatalis adalah penunggu nasib dan menafikan manfaat usaha. Pemeluk paham ini tidak bisa diajak membangun. Sebab, dalam keyakinan mereka, usaha bagaimanapun nihil manfaat dan tidak dapat merubah nasib.
Jika kondisi yang alaminya menyedihkan, mereka akan cenderung berburuk sangka (su’uzhon) kepada Allah SWT. Ungkapan populer mereka adalah, “Takdir memang kejam!”
Namun, jika mereka mengalami kondisi yang enak, mereka terlalu yakin akan mendapat ampunan hingga berani bermaksiat (murjiah) kepada Allah. Berbagai ibadah besar mereka tinggalkan, seperti jihat, dakwah amar makruf serta nahi mungkar.

PENUH SEMANGAT
Jika kedua sikap diatas salah berdampak negatif, maka pemahaman yang tepat akan melahirkan sikap yang berdampak positif. Kesalahan terbesar yang harus dibenahi dalam memahami takdir adalah memasuki bagian takdir yang menjadi domain Allah. Misalnya, menentukan jenis kelamin, menetapkan jatah rezaki dan umur, menetapkan sengsara atau sejahtera. Semuan itu wilayah Allah SWT yang Maha Berilmu, Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Bagian takdir yang harus dijalani manusia adalah melakukan “SEBAB” dengan sungguh-sungguh jika menghendaki “AKIBAT” sambil berdoa kepada Allah untuk melengkapi “SEBAB” itu.
Hati pun harus senantiasa berbaik sangka (husnuzhan) kepada Allah. Apapun hasilnya itulah yang terbaik baginya menurut Allah. Jika berhasil, maka bersyukur. Jika gagal maka harus memperbaiki SEBAB itu agar mendapat AKIBAT yang lebih baik.

SEMANGAT BERKARYA
Iman kepada takdir seharusnya membuahkan semangat berkarya yang menggelora. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Rasulullah SAW. Orang yang paling paham tentang takdir, paling beriman kepada-Nya dan paling dekat dengan Allah.
Gamblang sekali dalam prilaku hidup beliau kegigihan dalam menempuh “SEBAB”. Beliau berdakwah secara rahasia dan terang-terangan selama tiga belas tahun , dan menerobos berbagai tantangan dan ancaman. Beliau juga melakukan tujuh puluh empat kali jihat fisik dan menerapkan berbagai strategi perang.
Sikap itu sangat kontras dengan sikap kaum fatalis yang terbukti menyebabkan penjajah dengan begitu lama bercokol di negeri-negeri Islam. Sambil pasrah, mereka masih berdalih dengan membelokkan kalam hikmah. Mereka berpendapat kedatangan para penjajah itu merupakan keputusan Zat Yang Dicintai. Apapun yang datang dari Zat yang Dicintai harus diterima dengan cinta pula.
Padahal, Rasulullah SAW menolak sikap pasif menunggu nasib. Beliau bersabda, “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya).” Lalu beliau membaca surat al-Lail ayat 5-10. (Muttafaq alaih)
Umar RA juga menegur keras orang yang menginginkan harta tanpa bekerja dan hanya sibuk berdoa. “Jangan lah ada seseorang diantara kalian yang tidak bekerja untuk mencari rezeki lantas berdoa, ‘Ya Allah berikanlah rezeki kepadaku’. Padahal kalian tahu sesungguhnya langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”
Sedangkan Imam Ahmad, saat ditanya tentang orang yang suka berpangku tangan di rumah atau di masjid menunggu rezeki, berkomentar, “Ia adalah orang bodoh tak berilmu!” (al-Ghozali, ihya’ Ulum al-Din, II/62-63)
Ironis, orang tipe ini sebenarnya kelah telak dengan iblis dalam memahami takdir. Iblis yang divonis laknat tidak pernah loyo bergantung pada takdir. Namun, di hadapan Allah, iblis menyampaikan tekatnya dengan semangat membara.
“Karena Engkau (ya Allah) telah menghukum saya tersesat,” kata ibils sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 16-17, “Maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (manusia) dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”

MENJADI PRIBADI KOKOH
Bila manusia ingin dicintai Allah, maka mereka harus membangun pribadi yang kuat. Lebih kuat beribadah mahdhah, lebih banyak berinfaq, lebih kuat berjihat dan lebih sering membantu orang lain. Rasulullah SAW berkata, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah, ‘Itu adalah takdir Allah,’ dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” (Riwayat Muslim)


Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah 1433|

BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH

Posted by Reza Arrizal F
Sebagai seorang beriman kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah memiliki rencana yang terperinci terhadap makhluk-Nya, termasuk manusia. Beriman kepada Qadha dan Qadar Allah termasuk rukun (pilar) iman. Tidak sah keimanan seseorang jika ia tidak membenarkan ajaran takdir, tanpa ragu sedikitpun bahwa sesungguhnya Dia Maha Luas Ilmu-Nya.
Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah seorang hamba itu beriman kepada takdir yang baik dan buruk dari Allah, hingga ia mengetahui bahwa apa yang menimpanya bukan karena kesalahannya, dan kesalahannya itu tidaklah akan menimpanya.” (Riwayat At-Turmudzi)

SKENARIO LENGKAP
Beriman kepada takdir berarti kita meyakini bahwa Allah telah memiliki rencana lengkap, terperinci dan pasti atas diri kita. Tiada sekecil apa pun yang berkaitan dengan kita melainkan sudah termaktub dalam rencana besar-Nya. Misalnya, siapa ibu bapak kita; apa nama yang diberikan kepada kita; siapa jodoh kita; kapan ajal kita tiba; berapa bagian rezeki kita; bagaimana nasib kita setelah meninggalkan dunia; dan seterusnya.
Allah berfirman:
@è% `©9 !$uZu;ÅÁムžwÎ) $tB |=tFŸ2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@ž2uqtGuŠù=sù šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ  
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (At-Taubah : 51)
Dengan kata lain, semua lakon kehidupan manusia sejak kelahirannya hingga kematiannya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa bisa diubah dan diselisihi, baik yang besar ataupun yang kecil, masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Kebanyakan manusia salah paham memandang ajaran takdir. Bila masa lalunya dipenuhi berbagai kegagalan, mereka cenderung mempersepsikan bahwa itu suratan takdirnya. Mereka cenderung berfikir negative. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mengubah diri. Mereka menjadi apatis dan pasif. Padahal, ketidaksuksesan itu boleh jadi bukan karena dirinya, melainkan karena Allah belum menghendakinya.
Apabila seseorang mencoba namun belum juga sukses, bukan berarti mereka tidak mampu, bukan berarti pula mereka tidak sanggup. Boleh jadi ketidaksuksesan itu muncul dari rasa subjektivitas mereka. Mereka lupa bahwa keberhasilan itu diperoleh melalui beberapa kali percobaan. Berbagai pengalaman gagal justru menjadi modal penting meraih sukses. Sebaliknya, orang yang masa lalunya dipenuhi berbagai keberhasilan, cenderung memiliki mental optimis yang berlebihan. Mereka merasa seakan-akan keberhasilan itu suratan takdirnya. Mereka melihat diri mereka tidak mungkin jatuh. Mereka tidak menyadari bahwa dunia ini mengalami pasang surut (fluktuatif).
Jika takdir gagal menyambangi mereka maka mereka langsung tak bisa menerimanya. Mereka cenderung mengkambinghitamkan orang lain dan Tuhan. Mereka hanya siap menerima kemenangan dan tidak siap menerima kekalahan. Mereka menjadi sombing dan tinggi hati, iri hati dan sakit hati.
Bagitulah manusia, kebanyakan tidak benar memahami takdir. Hal demikian akan melahirkan manusia yang jiwanya terbelah, tidak seimbang, tidak utuh (split personality)

CARA MENYIKAPI TAKDIR
Rasulullah memberikan tuntunan yang indah dalam menyikapi takdir. Sabda beliau, “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali merasa tidak berdaya. Dan apabila engkau tertimpa suatu kemalangan maka janganlah engkau berkata, ‘Seandainya aku berbuat (begini) tentu begini dan begitu”. Tapi kataknlah, “Allah telah menakdirkan (begitu)”. Dan apa yang dia kehendaki Dia perbuat, karena perkataan Seandainya itu membuka pintu setan.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Berdasarkan Hadist diatas, setidaknya ada empat pelajaran penting tentang iman kepada takdir, yakni:
Manusia harus terlebih dahulu menentukan sasaran yang jelas mengenai apa yang bermanfaat bagi kehidupannya. Kita boleh berupaya memperoleh ilmu, harta, kekuasaan, pengaruh dan yang lainnya, asal semua itu bukan untuk mendatangkan mudharat (bahaya yang mengancam) bagi dirinya dan orang lain. Sesungguhnya Allah memberikan sesuatu kepada seseorang berbanding lurus dengan gambaran mentalnya. Rasulullah SAW dalam Hadist yang diriwayatkan Tahbrani dan Abu Nu’aim dari Watsilah, berkata bahwa Allah menuruti persangkaan hamba-Nya terhadap-Nya, kalau baik maka baiklah ia. Kalau buruk maka buruklah.
Berikhtiar semaksimal mungkin. Adapun hasil akhir, serahkan kepada Allah. Manusia hanya berusaha. Dia yang menentukan.
Mohon pertolongan Allah dalam berusaha. Sebab, bagi-Nya tidak ada yang sulit, berat, apalagi jalan buntu. Dia penguasa segala-galanya tanpa dibatasi apapun.
Janganlah merasa tidak berdaya, karena pada dasarnya setiap manusia telah diberi potensi-potensi yang dahsyat.
Jika hari ini kita dirundung duka, jangan larut dalam kesedihan. Sebaliknya, jika kita sedang naik daun, jangan larut dalam kesenangan. Sesungguhnya kenikmatan itu tidak kekal (laa yadum).

BAHAYA “SEANDAINYA”
Rasulullah senantiasa mengajarkan kepada manusia agar berfikir positif. Berikut adalah langkah-langkahnya:
1.      Jangan berkata, “Seandainya aku kerjakan begitu pasti terjadi begini”. Atau, “Seandainya aku tidak mengejarkan begitu tentu tidak akan terjadi begini.” Perkataan tersebut berarti kita lupa bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu sudah sesuai dengan apa yang menjadi takdir kita saat ini.
2.      Tapi berkatalah, “Allah telah mantakdirkan bagitu dan apa yang Dia kehendaki Dia perbuat”. Jadi, apa yang telah terjadi terhadap diri kita adalah atas kehendak Allah yang tak mungkin dihindari dan diubah oleh siapapun. Kita harus menerima semua itu sebagai kenyataan. Kita harus bersikap realistis. Kita tidak usah larut dalam kekecewaan, agar tidak memboroskan energi untuk hal-hal yang destruktif.
3.      Janganlah mengatakan “Seandainya” bila keberatan dengan takdir. Kata-kata “Seandainya” hanya membuka pintu setan.
Apa yang kita andaikan sekarang untuk dilakukan atau tidak dilakukan di masa lalu, maupun efek dari perbuatan yang diandaikan itu, mustahil terjadi. Sebab, masa lalu itu tidak mungkin bisa ditarik kembali untuk diperbaiki sesuai dengan kemauan kita sekarang ini.
Jika, apa manfaatnya berkata “Seandainya”? perkataan itu hanya akan memicu penyesalan yang berlarut-larut, marah yang tidak terkendali, dendam yang semakin membara, serakah dan dengki. Semua itu hanya akan menghabiskan energi dan potensi manusia.
Kita harus sadar bahwa kehidupan di dunia ini pasti mengalami pasang surut. Itulah romantika kehidupan. Bahkan boleh jadi lewat romantika itulah pahala mengalir deras untuk kita. Bukankah pahala itu berbanding lurus dengan tingkat kesulitan dan kepayahan kaus Muslim? Pertolongan Allah mustahil datang dengan cara instan (tiba-tiba) dan gratis (majjanan).


Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah 1433|

CARA RASUL MENYIKAPI TAKDIR

Posted by Reza Arrizal F

Search

Popular Posts

Translate

reza cute. Diberdayakan oleh Blogger.


Fans Pages

Get this widget!
close

Copyright © VANREZ -Reza Arrizal Firdaus- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan