Posted by : Reza Arrizal F
Kamis, Maret 21, 2013
Imam Ja’far Ash-Shadiq termasuk salah satu
Ahlul Bait yang senang memakai pakaian yang bagus. Sikap itu menimbulkan
pertanyaan dari berbagai orang disekitar. Namun, setelah ia menjelaskan bahwa
apa yang dipakai itu tidak membuatnya lalai kepada Allah, kemudian banyak orang
yang menerimanya.
Suatu ketika Sufyan al-Tsaury, berkata
kepadanya, “Anda tidak selayaknya menceburkan diri dalam kemewahan duniaqi.
Dari andalah diharapkan ketaqwaan, kezuhudan dan sifat menghindari dunia”.
Mendengar hal itu Imam Ja’far ash-Shadiq
berkata, “Dengat baik-baik hai Sufyan. Nabi hidup di suatu masa dan keadaan
dimana kesengsaraan, kemiskinan dan kesempitan melanda mereka. Kehidupan Nabi
dan Sahabt-sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi
yang menimpa semua orang. Tapi kalau hidup di suatu masa dimana
keperluan-keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya mengizinkan kita untuk
menikmati pemberian-pemberian ilahi, maka yang paling berhak untuk menikmati
karunia dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang yang saleh dan bertaqwa,
bukan orang-orang fasiq atau kafir, melainkan orang-orang Muslim. Demi Allah,
meskipun sebagaimana yang engkau lihat aku menikmati pemberian-pemberian dan
nikmat-nikmat Illahi ini, tapi tidak pernah malam dan siang berlalu tanpa aku
menyadari apakah hak orang lain masih ada ditanganku atau tidak. Kalau ada,
segera akun lunasi dan kusampaikan kepadanya.” Setelah mendengar penjelasan
tersebut Sufyan terdiam.
Dikalangan ulama, Imam Ja’far ash-Shadiq
diakui sebagai orang yang faqih dan tsiqah (terpercaya). Imam Abu
Hanifah berkata, “Tidak ada yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.” Abu
Hatim ar-Razi berkata, “(Dia) stiqah, tidak perlu dipertanyakan orang
skaliber dia.”
Para Imam Hadist kecuali al-Bukhari
meriwayatkan Hadist-hadistnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam
al-Bukhari meriwayatkan Hadistnya dikitab lainnya, bukan di ash-Shahih. Ibnu
Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah
dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah.” Ibnu Taimiyah memujinya dengan
ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan
kesepakatan ahli Sunnah.” Banyak ulama yang mengambil ilmu darinya, diantaranya
Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi). Dalam hal ini ia berkata, “Jika aku
tidak belajar kepada Imam Ja’fat selama dua tahun, maka binasalah aku.”
Ketika di jamannya, telah muncul al-Ja’d bin
Dirham dan pengaruh al-Jahm bin Shafwan yang mengajarkan bahwa al-Qur’an adalah
makhluk. Aqidah ini juga mempengaruhi orang-orang Syi’ah. Akan tetapi, Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur’an bukan Khaliq
(Pencipta), juga bukan makhluk, tapi Kalamullah. Prinsip ini diikuti oleh para
ahli Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu,
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan
Rasul-Nya.
Ia juga menolak jika dirinya dianggap Maksum
(terjaga dari dosa). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdul Jabbar bin
al-‘Abbas al-Hamdani berkata, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad (Ja’fat
ash-Shadiq) menghampiri mereka saat aku meninggalkan Madinah. Ia berkata
‘Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang yang saleh dari Madinah,
maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barang siapa yang
menganggapku imam maksum yang wajib ditaati, aku berlepas diri darinya.”
GEMAR BERSEDEKAH
As-Shadiq merupakan gelar yang selalu bersemat
padanya. Kata ash-Shadiq itu, tidaklah tidaklah disebutkan kecuali mengarah
kepadanya. Ia terkenal dengan kejujuran dalam Hadist, ucapan-ucapan dan
tindakan-tindakannya. Meski demikian, ia bukan manusia yang maksum seperti yang
diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini ia akui sendiri bahwa al ‘Ishmah (maksum)
hanyalah milik Nabi.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan
kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi
keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang
dermawan. Sebagaimana Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati.
Dalam hal ini kedermawanan ini, ia seakan
meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan
sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum,
daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, serta dibagikan kepada
orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah,
tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa
kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.
Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang
terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan
kepada pihak yang dirugikan untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslim.
Imam Ja’far ash-Shadiq, menempuh perjalanan
ilmiahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat
Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as-Sa’idi dan Anas bin Malik
RA. Dia juga berguru pada Sayyidu Tabi’in ‘Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin
Syihab az-Zuhri, ‘Urwah bin az-Zubair, Muhammad bin al-Munkadir dan ‘Abdullah
bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari
kakeknya, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal
dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki
ketinggian dalam amanah dan kejujuran. Sedangkan murid-muridnya yang peling
terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al-Anshari, Malik bin Anas al-Ashbahi, Sufyan
as-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj. Juga Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah dan
masih banyak lagi.
Golongan Syi’ah mendaulatnya sebagai imam
keenam. Namun, pernyataan-pernyataan dan aqidah mereka berbeda dengan yang
diyakini Imam Ja’far ash-Shadiq. Misalnya, sikap dan kecintaannya terhadap Abu
Bakr dan Umar bin al-Kaththab tidak perlu dipertanyakan, sedang Syi’ah sangat
mencela dua sahabat tersebut.
Imam Ja’far ash-Shadiq tidak mungkin mencela
mereka berdua. Sebab, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al-Qasim bin Muhammad bin
Abi Bakr ash-Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah Asma’ bintu
Abdir Rahman bin Abi Bakr ash-Shiddiq. Ini artinya Abu Bakr adalah kakeknya
sehingga sulit dimengerti jika beliau mencaci dan mencela kekaknya. Ja’far
sendiri berkata, “Abu Bakr melahirkan diriku dua kali.”
Imam Ja’far lahir di kota Madinah pada tahun
80 H. Beliau dikaruniai beberapa anak. Beliau wafat di Madinah pada tahun 148 H
dalam usia 68 tahun.
Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 07|Nopember 2012|Dzulhijjah
1433|